Friday, October 30, 2009

Friday, October 23, 2009

trekking the Himalaya 1

Photobucket

Okei gue akan bikin ringkes karna perjalanan gue kali ini menghabiskan total 16 hari termasuk singgah di Bangkok 2 malem dan leyeh-leyeh di Kathmandu 2 malem.

Yaaaay… gue ke Nepal. Tempat idaman kesekian yang ahirnya kesampean juga gue injek setelah memendam hasrat bertahun-tahun. Dan yang lebih keren lagi, gue nggak akan cuma nongkrong nggak jelas di beberapa kota aduhai di Nepal. Bukan itu tujuan gue. Gue akan trekking ke daerah Himalaya. Yang lebih keren lagi nih trekking kali ini gue berdua Unggul hahaha… keren kaaaan…

Temans mohon maaf sepertinya gue akan gagal menulis perjalanan ini dengan ringkes, karna emang banyak banget crita yang mau gue bagi. Iya.. iya... gue ngerti kalian nggak punya banyak waktu buat baca. Tapi gini, gue janji ini akan menarik. Bener-bener menarik dan gue jamin kalian akan bercucuran air mata karna ngiri setelah baca dan liat foto-fotonya hahahaha.... Lagi pula daripada beli buku Everest Trekking Maps and Complete Guide keluaran Milestone Books mending baca blog gue aja.. beda tipis lah.. Hmmm… mungkin nggak ya tulisan gue ini naik cetak dibikin jadi buku panduan? Hehehehehe… Tujuan baik, jalan baik, berahir baik.. Setuju?!

Baiklah gue mulai dengan...

Sejarah kenapa gue kembali ke gunung dan persiapannya

Dulu, kira-kira 20 tahun lebih yang lalu, gue adalah seorang penikmat perjalanan dari desa ke desa dan gunung. Dulu, setiap week-end ke gunung Gede bukan hal aneh buat gue. Dulu, kalo ada yang ngajak gue jalan seminggu atau bahkan 10 hari akan gue jabanin dengan riang gembira. Setelah itu, seperti putri salju yang keselek apel lalu tertidur, gue keselek mangga dan tertidur juga. Lamaaaaa banget.. saking lamanya gue sampe lupa dengan rasa betapa senangnya melakukan perjalanan itu. Lalu, kira-kira ahir tahun lalu, sang mangga tiba-tiba mengeluarkan diri dan gue terbangun. Lalu, gue merencanakan sebuah perjalanan dahsyat yang ternyata disambut dengan gembira pula oleh Unggul. Kalo putri salju bangun tidur merem melek dulu kan, nah gue nggak. Begitu bangun gue langsung loncat setinggi-tingginya.

Rencana perjalanan kali ini gue siapin dengan amat sangat serius. Nomer satu olah raga. Selama “tertidur” bertahun-tahun mana pernah gue olah raga. Mulai awal tahun gue olah raga. Lari maksut gue jogging setiap hari. Mulanya cuma mampu 10 menit, itupun udah bikin gue hampir mati. Lama-lama gue bisa lari 30 menit dan kemudian 1jam. Hebat! Menakjubkan! Betapa sesuatu bisa memotivasi seseorang sebegitu rupa. Nomer dua mencoba berhenti merokok walaupun gagal total!!

Gue juga rajin browsing, cari tau mengenai trekking di Nepal terutama di daerah Solukhumbu atau Everest region karna emang ke sana lah tujuan perjalanan gue. Pilih rute, lama perjalanan, perijinan, agensi.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, terutama usia (hehehe…), kondisi badan, daya tahan tubuh dan lain-lain, ahirnya gue memutuskan untuk menggunakan jasa agensi. Milih agensi pun ternyata nggak semudah yang gue kira, karma ternyata banyak banget agensi yang menawarkan berbagai macam paket trekking di Nepal.

Pucuk dicinta ulam tiba, rencana baik tujuan baik pasti jalannya juga baik. Ternyata ada satu kerabat Unggul yang tinggal di Kathmandu dan yang terbaik adalah istrinya adalah salah satu petinggi di sebuah agensi. Glacier Safari Treks. Tanpa pikir panjang dan pusing-pusing GST segera jadi pilihan. Korespondesi berlangsung selama kira-kira 6 bulan.

Rencana trekking bisa kita atur sendiri sesuai dengan keinginan kita. Mulai dari rute, lama perjalanan, penginapan dan lain-lain. Biaya juga disesuaikan dengan apa yang kita minta. Makin panjang, makin lama perjalanan ya makin mahal. Informasi yang gue dapet dari GST betul-betul komplit dan sangat membantu.

Ahirnya saat yang gue tunggu-tunggu datang juga. Horeeeeee….

Hari ke 1, 24 September 2009

Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Bangkok, menginap 1 malam. Kenapa Bangkok? Begini, rute dari Jakarta ke Kathmandu yang paling mudah adalah melalui Bangkok. Nggak ada direct flight. Ada 2 pilihan yaitu, pertama Jakarta – Bangkok stay 1 malam kemudian hari berikut Bangkok – Kathmandu, dengan menggunakan Thay Airways. Kedua Jakarta – Bangkok dengan Thay Airways dan Bangkok – Kathmandu dengan Nepal Air. Gue pilih yang pertama dengan pertimbangan sederhana aja. Gue pingin mampir ke rumah makan Tawandeng buat menikmati pork nuckle dan german beer sebelum memulai trekking.. Tersenyum lah kalian membacanya... Hari itu gue masih merokok dengan nikmat.

patpo

Hari ke 2, 25 September 2009

Bangkok – Kathmandu TG 319 jam 10.35. Seperti sudah pernah gue ceritakan sebelumnya, penerbangan selama 3 jam dengan Thay Airways sungguh tidak terasa. Ahirnya jam 12.45 gue mendarat di Tribuvan Airport Kathmandu dan dengan segera gue akan menginjakkan kaki gue di tanah Nepal, tanah impian. Aaaah...

Untuk WNI yang mau masuk Nepal harus punya visa. Jangan kuatir, visa bisa diperoleh on arrival dan cukup mudah. Dengan membayar USD 25 untuk 15 hari multiple entry atau USD 40 untuk 30 hari multiple entry per orang, visa segera ditempel di passport dan kita bisa segera jalan-jalan. Antrian cukup panjang tapi tertib kok nggak ada yang nyelak. Padahal itu belum mulai trekking season karena waktu trekking terbaik adalah bulan Oktober-November. Bisa dibilang gue nyolong start duluan biar nggak terlalu rame di jalan.

2

Keluar Tribuvan Airport 2 orang staf GST sudah menunggu mengacung-acungkan selembar kertas bertuliskan Glacier Safari Treks – Unggul Luberizky. Wuaaah... sumpah baru sekali ini gue disambut sedemikian rupa. Jadi berasa orang penting hehehe... Masuk mobil segera menuju kantor GST untuk briefing. Ahirnya gue ketemu sama Amita, orang yang selama ini cuma gue kenal melalui email, Mr. Dhruba mantan trekking guide yang juga ayahnya Amita, M. Alexandre si Perancis direktur GST dan Bikram trekking guide gue. Ternyata briefing jadi berpanjang ke ngobrol kiri kanan. Nggak sadar. Puas ngobrol langsung menuju hotel buat istirahat sebentar dengan janji sore itu akan ketemu lagi dan jalan bareng Bikram untuk melengkapi barang bawaan yang masih kurang.

Jam 5.30 sore itu kita udah keluar hotel menuju daerah Thamel, jalan kaki cuma 15 menit. Area Thamel cukup luas. Di sini kita bisa nemuin banyak barang mulai dari kaos, souvenir, peralatan mounteneering standard sampe tinggat tinggi berbagai merek dari yang asli sampe oplosan alias palsu, dijual atau disewakan. Orang segala bangsa jalan bawa ransel segede gerbong kereta, bersandal jepit atau boots bukan pemandangan aneh.Warung makan pinggir jalan sampe restoran standard bule juga banyak, money changer berserakan. Pendek kata segala ada.
Photobucket

Gue musti nyewa sleeping bag karena memang nggak bawa. Jangan kuatir, barang yang disewakan dalam kondisi bersih, terawat dan memenuhi standard. Nggak terlalu mahal juga. Buat 12 hari gue cuma bayar USD 10. Bandingin kalo gue musti beli barang baru.

Photobucket

Hari itu ditutup dengan makan malam bertiga. Mix fried noodle, mix fried rice, fried momo, steam momo dan Nepal beer jadi menu makan malam. Badan berasa siap dan nggak sabar buat segera mulai perjalanan... Tidur.. tidur.. tidur... besok bangun pagi.

trekking the Himalaya 2

Hari ke 3, 26 September 2009

Eng ing eng... nggak pake acara dibangunin, pagi-pagi buta gue udah kebangun seger dan pengen joget hahahaha... Mandi, siap-siap, langsung angkat backpack gaban gue ke bawah. Kamar gue di lantai 3 temans dan nggak ada lift...

4

Penerbangan Kathmandu – Lukla selama 30 menit yang harusnya dijadwalkan berangkat jam 7.30 pagi itu tertunda karna cuaca berkabut. Nunggu 2 jam lebih di airport mustinya kan menyebalkan ya. Tapi hari itu pengecualian buat gue. Kayaknya gue siap menghadapi apa pun deh. Semangat tinggi bow..!! Lagian kan yang ketunda penerbangannya bukan gue sendiri. Semua penerbangan pagi itu nggak bisa berangkat. Penumpang di ruang tunggu banyak banget dengan segala macem gaya, jadi pemandangan menarik buat gue.

5

Hampir jam 11 baru gue bisa berangkat. Penerbangan 30 menit itu menakjubkan. Mendekati Lukla gue bisa ngintip-ngitip jajaran gunung berpucuk salju. Sayang gue duduk di sisi yang salah. Nggak masalah karna gue akan segera mendekati mereka.

6

Sampe Lukla di ketinggian 2886 m. Aaaaaah… Pengen gue peluk rasanya tiap orang yang gue temuin disana. I’m here finally.

Photobucket

Trekking hari ke 1, Lukla – Benkar 3100 m, lama perjalanan diukur menurut kemampuan gue kira-kira 5 jam.

12

Ini juga hari pertama ketemu Feishal porter yang bantu bawain backpack kita berdua. Orangnya kecil, sopan, banyak senyum, nggak aneh-aneh lah pokoknya.

17

Sherpa dan sherpini jarang yang bepotongan tubuh tinggi besar menjulang. Rata-rata kecil, kaum lelaki biasanya lebih kecil dan ramping dibanding kaum perempuan. Tapi jangan pernah meragukan kekuatan mereka. Dilahirkan dan hidup di tengah alam yang bisa dibilang tidak mudah, mereka terbiasa mengadakan perjalanan jauh berjam-jam bahkan berhari-hari naik turun gunung dengan beban berat. Kondisi pegunungan yang naik turun dengan tingkat kecuraman yang terkadang tinggi dan tipisnya kadar oksigen menjadikan mereka sosok yang menakjubkan. Jangan sekali-sekali pernah terpikir untuk membandingan gue seorang perokok yang malas bergerak dengan mereka!!

9

15

Setelah perjalanan yang agak bikin deg-degan karna kita musti lewatin beberapa suspension bridge yang panjang dan tingginya nggak pernah terbayang sebelumnya, kira-kira jam 5 sore kita sampai di penginapan. Ini jadi hari pertama kita tidur di gunung. hmmm... baru juga sampe di ketinggian segini dingin banget ternyata...

Hari ke 4, 27 September 2009

Trekking hari ke 2, Benkar - Namche Bazar 3440 m, lama perjalanan kira-kira 3 jam.

Rute ini merupakan rute terberat selama perjalanan 12 hari naik turun...

Photobucket

Bangun pagi, buka jendela dan gue langsung beku melongo sejadi-jadinya. Oooh... Thamserku batu setinggi 6600 m dengan pucuk saljunya ada di depan mata gue! Kusum Kanguru si megah setinggi 6300 m di sebelah kanan gue! Tapi gue terlalu kedinginan buat teriak

27

Setelah sarapan banyak, berempat kita mulai jalan jam 7.30 pagi. Lepas dari Benkar sebagian besar jalan yang dilalui menanjak dan nggak sedikit yang betul-betul curam walaupun cukup lebar. Buat gue, meskipun dengan napas ngos-ngosan, nggak ada yang nggak indah sepanjang jalan itu.

Matahari murah hati banget hari itu. Sinarnya yang amat terang benderang bikin dingin nggak terlalu terasa, asal jangan berhenti kelamaan. Kalo behenti 5 menit aja langsung badan jadi dingin. Kaos yang basah keringet kena angin dan udara dingin bikin tulang punggung gue keriting.

30

Sepanjang jalan berpapasan dengan sekelompok Zopkios/zop (crossbreed yak dan sapi) atau keledai pengangkut barang, sesama trekker, porter dengan barang bawaannya yang menjulang lebih tinggi dari badan mereka, mendengar sapaan “Namaste..” pada sesama pejalan menjadi sesuatu yang nggak ada bandingannya buat gue. Diantara napas pendek karna oksigen tipis dan usaha mengerahkan segala upaya buat jalan nggak jarang kita pun masih menyempatkan diri buat ngobrol antar sesama penanggung derita hahahaha... Banyak teman seperjalanan bikin segalanya jadi terasa lebih mudah.

10

Setelah perjalanan nanjak yang tak kunjung selesai ahirnya dikejauhan keliahatan juga pintu gerbang Namche Bazar. Horeeeee…. Bisa ngelurusin kaki.

39

37

Kalo kalian berpikir Namche Bazar itu kampung kecil sepi di atas gunung, salah besar. Kampung ini besar, rame dan nggak kalah sama daerah Thamel di Kathmandu. Warnet, tempat billyard, cafe buat nongkrong, toko, apotik komplit, losmen, hotel, bakery ada semua. Cuma bioskop aja yang nggak ada karna siapa juga yang mau nonton film kalo bisa nonton kemegahan gunung yang berjajar.
43

Masuk losmen, istirahat bentar, makan terus jalan-jalan dan motret... Nikmatnyaaaa...

41

Hari ke 5, 28 September 2009

Trekking hari ke 3 Namche Bazar – Khumjung 3790 m, lama perjalanan 3 jam.

Harusnya jadi hari istirahat buat aklimatisasi di Namche Bazar. Aklimatisasi atau acclimatize ini sebetulnya adalah adaptasi atau penyesuaian tubuh. Kita yang biasanya hidup di dataran rendah dan naik ke dataran tinggi diharuskan untuk melakukan penyesuaian terhadap ketinggian. Jangan pernah berfikir ini nggak perlu. Kalo kalian mau terhindar dari hypoxia, mountain sickness atau kerennya high altitude sickness dan berharap selamat sehat wal afiat kembali ke rumah ya kerjakan lah dengan baik dan benar. Kadar oksigen yang semakin tipis sangat mempengaruhi kondisi dan stamina kita.

33

Dengan pertimbangan yang disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan tubuh, hari ini kita naik sedikit lebih tinggi ke Khumjung. Lepas Namche Bazar gue disuguhi pemandangan Ama Dablam, Leotin Ibu, menjulang 6812 m. Aaaah gunung favorit kedua gue..
58

Haduh… nggak habis-habisnya gue ber ah oh ria karena emang apa yang bisa gue liat hari itu keren banget. Sepertinya gue terserang penyakit euphoria deh.. sumpah keren banget.

Di tengah jalan kita sempet singgah di Everest View Hotel buat ngeteh dulu.. Ini hotel mahal di atas gunung. Ongkos nginep semalem USD 250 termasuk makan pagi. Berminat? Gue nggak deh. Numpang minum teh aja lah udah cukup. Dari hotel ini kalo cuaca bagus dan langit bersih nggak berawan kita bisa lihat Kumbila, Pumori, sang Everest, Nuptse dan Lhotse. Sayang hari itu berawan. Nggak rejeki gue…

59

Perjalanan belum selesai, masih setengah lagi yang musti dijalanin. Abis minum teh terasa lebih menggembirakan buat gue dan jalannya pun enak banget. Melintasi padang rumput luas dipagari gunung-gunung keren menjulang. Plaza Senayan? Senayan city? Grand Indonesia? Citos? Putus!! Nggak ada yang bisa nyaingin.

Perasaan gue nih, baru jalan sebentar. Tau-tau Khumjung udah di depan mata. Hahaha… begitu lah kalau ngejalanin sesuatu dengan hati riang gembira. Terasa mudah dan menyenangkan.

56

Di desa ini ada sekolah menegah yang didirikan oleh Sir Edmun Hillary melalui yayasannya Himalayan Trust. Sayangnya gue berkunjung sore hari dan udah nggak ada kegiatan belajar mengajar. Sekolah ini menempati areal yang luas banget dan mempunyai fasilitas yang baik karna gue ngeliat ada lab computer, lab fisika, ruang kerajinan tangan, perpustakaan. Dan terawat dengan baik.

66

Photobucket

Disini juga ada Khumjung Monastery dengan tengkorak Yeti nya yang terkenal itu. Dalam kunjungan kali ini kita nggak sempet ketemu seorang Bikhu pun karna mereka sedang berkunjung ke monastery lain di daerah Khunde dan Tengboche.

65

Bermalam di Mandala Lodge terasa seperti di rumah kerabat dekat. Chulding Sherpa dan istrinya menyambut kami bukan sebagai tamu, lebih terasa sebagai keluarga. Chulding bai yang pada masa jayanya sudah 2 kali mencapai puncak Everest, memutuskan untuk pensiun sebagai pendaki 6 tahun yang lalu pada usia 40 tahun dan sekarang mengelola penginapan miliknya termasuk memasakkan makanan untuk para tamunya. Rasa masakannya? Nggak kalah sama restoran ternama.

61

Di Khumjung ini pertama kali gue liat yak yang wooow… gedenya amit-amit dengan tanduk melengkungnya yang tajem.

72

Ini hari terahir gue nyentuh rokok, itupun cuma sebatang begitu sampe di penginapan siang tadi. Sayang napas…

69


...

trekking the Himalaya 3

Hari ke 6, 29 September 2009

Trekking hari ke 4, Khumjung – Pangboche 3980 m, lama perjalanan 4 jam.

70

Bangun pagi di Khumjung gue langsung beku lagi melongo sejadi-jadinya. Di depan gue Ama Dablam di belakang gue Khumbila atau Khumbiyu Lha atau God of Khumbu menjulang 5761 m. Oleh kelompok masyarakat Sherpa gunung ini dikeramatkan karena merupakan tempat tinggal dewa penjaga daerah sekitarnya menurut kepercayaan mereka dan belum pernah didaki sekali pun. Usaha pendakian mengalami kegagalan dengan meninggalnya para pendaki karena terhempas longsoran salju. Ya sudah lah, gue nggak akan berusaha mendaki gunung Khumbila daripada nggak bisa nulis di blog lagi.

75

Seperti hari-hari sebelumnya, gue serasa menari di jalan. Jangan bosen kalo gue bilang perjalanan ini emang keren banget yaa... Keluar Khumjung jalan ada di sisi luar bukit dengan jurang dalem di sebelah kanan gue dan sungai Dudh Kosi yang bergolak di bawahnya. Gue jalan melipir rapat dinding. Takut jatoh temans... hehehe...

71

73

Ah ada yang lupa gue sebut dari hari pertama. Selama perjalanan ini kita banyak melintasi jembatan gantung atau suspension bridge yang panjang dan tinggi. Deg-degan juga nyebrangnya. Kalo kita melintas itu jembatan goyang abis. Apalagi kalo di depan atau di belakang kita ada rombongan yak, jangan tanya. Dan gue berusaha mati-matian nggak bareng rombongan binatang besar itu. Biar lama yang penting nunggu dulu. Jangan kuatir nggak kebagian. Jembatan penghubung antar gunung ini nggak cuma 1 tapi ada banyak.

86

Perjalanan ini melalui Tyangboche atau Tengboche atau dalam diterjemahkan bebas “Sacred Bowl”, betul-betul seperti mangkok raksasa karena terletak di sebuah lembah besar dikelilingi oleh Thamserku 6608 m, Kangtega 6779 m dan Taboce 6542 m. Disini lah pusat Biara Budha terbesar untuk daerah Khumbu atau dikenal sebagai Tengboche Monastery. Setiap ahir bulan Oktober selama 9 hari diadakan festival Mani Rimdu yang menjadi daya tarik tidak saja untuk penduduk lokal tapi juga turis.

81

82

Makin tinggi tempat yang gue capai gue makin kedinginan. Baju, jaket, kaos kaki, sarung tangan udah berlapis-lapis gue pake. Gue jadi keliatan agak lebih gendut dari semestinya hahaha… Makin tinggi nafsu makan gue makin berkurang. Makan bukan lagi buat nikmat tapi lebih buat asal ngisi perut. Bukan karna menu atau rasanya yang nggak sesuai selera, tapi memang nafsu makan gue seperti menghilang. Menurut kabar yang gue terima sebelum memulai perjalanan hal itu biasa terjadi. Nggak percaya sebelum kejadian, tapi itu lah yang gue alami. Untungnya gue udah antisipasi dengan makan sebanyak dan sekenyang mungkin selama gue masih ada selera makan di hari sebelumnya.

84

Pangboche, seperti desa lainnya nggak kalah indahnya.

88

90

Hari ke 7, 30 September 2009

Trekking hari ke 5, Pangboche – Dingboche 4260 m, waktu tempuh kira-kira 4 jam.

Lepas Pangboche setelah kira-kira jalan 1 jam, keadaan dataran tinngi itu mulai berubah. Pohon besar hilang digantikan dengan tumbuhan perdu. Semakin tinggi kita jalan perdu mulai hilang digantikan semak yang tumbuh di sana sini, pasir dan batu membentang. Mata gue mulai kehilangan warna hijau. Kuning pasir, coklat dan hitam batu, putih es di kejauhan bahkan semak pun didominasi warna kekuningan, kemerahan, kecoklatan cuma sedikit warna hijau.

93

97

Udara Dingboche yang dingin terbatasnya persedian kayu untuk bahan bakar pemanas mengharuskan penduduk setempat mengupayakan bahan lain sebagai bahan bakar. Yang menjadi alternatif adalah kotoran zop atau yak yang dikeringkan. Mereka nggak perlu kerluar uang buat kotoran binatang ini. Dengan bermodalkan keranjang besar yang disunggi di punggung mereka mengumpukan kotoran zop atau yak yang memang banyak bertebaran di jalan. Setelah itu mereka mengaduknya dengan sedikit air, dihaluskan dengan cara dipukul dengan menggunakan kayu, dibulatkan dan digepengkan dengan tangan, dijemur di terik matahari sampai kering, jadilah bahan bakar.

Photobucket

Photobucket

Gundukan, adonan dan gepengan kotoran yang dijemur dan siap pakai ini bukan hal aneh dan menjadi pemandangan sehari-hari. Bayangkan mereka mengaduk kotoran ini dengan tangan telanjang setelah selesai cuci tangan setelah itu mereka menyiapkan makanan. hmmm...

Photobucket

Dingboche, gue nggak ketemu kata-kata selain indah, keren, mantep.. Sudah lah top banget pokoknya..

Photobucket

Hari ke 8, 1 Oktober 2009

Trekking hari ke 6, Dingboche – Thugla 4400 m, ditempuh dalam 3 jam 30 menit.

Umumnya trekker menjadikan Dingboche sebagai tempat istirahat untuk aklimatisasi kedua. Tapi dengan pertimbangan akan ngirit tenaga dan waktu untuk rute berikut, daripada cuma diem bengong aja mending aklimatisasi dengan jalan sedikit lebih tinggi ke Thugla. Kalo memang kemudian ada terjadi hal-hal yang nggak diinginkan kita masih bisa turun lagi ke Dingboche.

Photobucket

Photobucket

Photobucket

Pumori setinggi 7145 meter mulai ngintip-ngintip dan gue mulai terserang demam panggung. Gunung favorit ke 3 di depan mata. gue jadi salah tingkah..!! Dan gue udah siap-siap mau motret si dia dengan segala macem cara.

Photobucket

Photobucket

Thugla bukan desa. Cuma ada 1 penginapan merangkap rumah makan di tempat ini. Betul-betul terpencil di atas gundukan batu. Hebatnya, makanan yang disajikan tetep mengugah selera dan rasanya pun top abis. Cuma sayang gue beneran kehilangan selera makan. Sepertinya gue agak mengalami dehydrasi, defisit body mass, kehilangan daya tahan dan tenaga tanpa gue sadar karna terlalu gembira dan antusias dengan perjalanan ini. Sup jadi satu-satunya makanan andalan gue yang masih bisa ketelen tanpa usaha keras. Tapi gue masih sadar untuk tetep mengkonsumsi makanan padat walaupun dengan segala daya upaya dan cuma sedikit banget yang bisa masuk. Liat roti udah seperti liat hantu kolong tempat tidur! Nasi was a nightmare!!

Photobucket

Photobucket

Baru 4400 meter dan napas mulai pendek. Ngiket tali sepatu seperti habis lari 10 menit. Udara dingin makin membabi buta. Gue sih nggak pake malu dan gengsi untuk ngebungkus badan gue dengan lapisan-lapisan baju, walaupun masih banyak para trekker lain yang memang berasal dari negara dingin cuma pake kaos dan jaket selapis doang.

Sayang kalo cuma bengong kedinginan, siang itu kita jalan-jalan sedikit naik buat liat danau Cholatse yang ada ditengah gunung. Luasnya bikin gue gamang.

121

122

124


Malem itu mulai timbul gejala gangguan ketinggian yang lain. Mulai susah tidur..

Hari ke 9, 2 Oktober 2009

Trekking hari ke 7, Thugla – Lobuche 4930 m, jalan naik kira-kira 4 jam.

Dua kata, KEREN BANGET!

Kita jalan di tengah morain atau lautan batu dan pasir. Rumput pendek cuma tumbuh disana sini aja. Matahari bersinar terik tapi langit mulai berawan dan angin kencang. Perjalanan meskipun naik makin tinggi, nggak susah sama sekali. Jalan bareng sesama trekker, porter, rombongan yak, sapaan “Namaste”, ngobrol. Seperti sebuah keluarga besar yang lagi arisan di jalanan pegunungan.

125

126

Mendekati Lobuche kabut atau tepatnya awan keliatan turun semakin mendekat dan semakin tebal. Tiba di penginapan kita memutuskan untuk makan siang dan istirahat sebentar dan mau jalan sedikit naik ke bukit seberang untuk berkunjung ke salah satu glacier terdekat. Mau liat blue ice.

146

132

Jangan membayangkan bukit hijau berbunga karna lebih menyerupai tumpukan batu yang membukit. Sepanjang jalan banyak ditemuin batu yang besarnya kira-kira seukuran rumah tipe 21. Gede banget. Gue serasa entah ada di planet lain dan bukan di bumi.Cuma kira-kira 100 meter naik, yang berarti kita udah menginjakkan kaki di ketinggian 5000 meter. Yaaay..!! Sayangnya karna belum masuk winter daerah glacier ini belum tertutup es dan si blue ice hanya keliatan samar aja.

134

Udah waktunya turun karna awan semakin tebal dan agak susah buat ngeliat. Tiba-tiba gue ngerasa ada yang dingin dan basah netes di muka gue. Hujan, gue piker. Tapi kok bullet-bulet halus begitu sampe di jaket gue langsung tergelincir, nggak nempel. Begini, seumur hidup gue tinggal di negara tropis yang cuma punya 2 musim, panas dan hujan. Hujan air. Dan gue nggak sadar di tempat setinggi dan sedingin itu tetesan air hujan berubah menjadi butiran putih halus kecil yang disebut salju. Ternyata gue kena gerimis salju. Horeeeeee…. Langsung dong gue norak setengah mati. Gue rentangin tangan gue, gue buka mulut kalo nggak inget oksigen tipis mungkin gue udah guling-gulingan di batu. Sampe losmen gue nggak buru-buru masuk tapi mandi gerimis saju dulu di luar. Norak! Biar! Nggak peduli!

131

Sore itu seperti biasa gue bergulung di pojokan ruang makan kedinginan dan menghayal punya rambut setebal rambut yak.

Malam itu jadi malapetaka buat gue. Lagi tidur enak-enak tiba-tiba gue terbangun karna ngerasa sakit perut yang amat sangat. Gue tahan sebisa mungkin walau ahirnya nyerah. Musti segera ke toilet dan buang hajat membabi buta. Balik ke kamar si sakit nggak kunjung reda malah sekarang asam lambung gue ikutan berontak yang menyebabkan lambung gue perih seperti ditusuk-tusuk dan kedengeran bunyi gemuruh di perut gue. Entah bunyi perut atau gue nggak sadar mengaduh, Unggul ikut kebangun dan mulai sibuk gosok perut gue pake balsam. Masuk angin parah, saudaraku!! Gue tempel koyo sebanyak-banyaknya. Nggak juga reda. Dalam kesibukan itu sempet terlontar untuk menghentikan perjalanan dan turun kembali tanpa mencoba untuk naik lebih tinggi. Aaarghhh… tinggal 2 hari lagi sampai titiknya. Antara mengiyakan dan nggak terima sambil nahan sakit, gue cuma bisa manggut-manggut sedih. Ahirnya Unggul dengan bijaksana memutuskan untuk liat kondisi gue pagi berikut, setelah itu terserah gue.. Buat tidur aja susah apalagi pake acara nahan sakit. Meskipun gue tertidur juga karna cape.

147

Harusnya pagi itu kita berangkat jalan jam 6 pagi. Tapi ternyata gue kebangun jam 7 pagi dan gue nggak yakin dengan kondisi gue, apa membaik atau sama atau memburuk. Sedih rasanya. Sambil balik badan gue buka korden di jendela maksutnya supaya ada matahari masuk dan berharap gue ngerasa lebih baik. Kok nggak ada sinar matahari? Setengah mangkel gue angkat badan buat liat keluar jendela. Sekali lagi temans, gue beku di tempat. Pantesan aja nggak ada sinar matahari masuk. Diluar hujan salju lumayan besar. Ternyata ada saat dimana sinar matahari dikalahkan oleh lebatnya salju yang turun. Dengan seketika gue merasa segar sehat wal afiat. Masuk angin? Wes ewes ewes… bablas angine. Hilang! Atau seperti hilang? Tak tau lah… Gue merasa saat itu gue siap melakukan perjalanan kemana pun sejauh apa pun.

137

Gue yakin, meskipun dengan agak ge-er sedikit, sebenernya Unggul, Bikram dan Feishal kuatir dengan keadaan gue. Tapi begitu liat betapa berharapnya gue bisa ngelanjutin perjalanan ini dan dengan pertimbangan yang sudah betul-betul dipikirkan, ahirnya mereka memutuskan bahwa gue sanggup untuk terus jalan.. Puji Tuhan…


...